10/15/2009

Kabinet Dapur Baru

PUISI BUAT ISTERI

ISTERIKU
ENGKAULAH TEMAN SEJATIKU
ENGKAULAH PENOLONGKU
ENGKAULAH PENENANGKU
ENGKAULAHPENASIHATKU

ISTERIKU
MAAFKANLAH DIRI INI
TERKADANG TANPAKU SEDARI
DIRI INI TIDAKLAH SESEMPURNA PERIBADI
TIDAK SEPERTI DIKAU KEHENDAKI
TIDAK SEPERTI YANG DIKAU BAYANGI
TIDAK SEPERTI YANG DIKAU TANGGAPI

ISTERIKU
PERJUANGAN KITA BARU BERMULA
MELAYARI BAHTERA RUMAHTANGGA
YANG TIDAK SENTIASA SENTOSA
AKAN DATANG SAAT GELORA
MENGUJI ERTINYA CINTA KITA
SEKUAT MANA AKAN IKATANNYA

ISTERIKU
SAAT GEMBIRA KITA LALUI BERSAMA
KENANGAN MANIS KITA KECAPI BERSAMA
KENANGAN INDAH YANG SERING BUAT KITA TERTAWA
SENYUM, TAWA KITA CORETKAN DALAM RUMAHTANGGA
SUNGGUH BAHAGIA SAAT ITU BUAT KITA

ISTERIKU
SAAT DUKA KITA HADAPI JUA
UJIAN YANG DATANG DARI YANG MAHA ESA
TANDA CINTANYA PADA KELUARGA KITA
AGAR DIRIKU DAN DIRIMU SENTIASA SETIA
PADA JANJI YANG KITA METERAI BERSAMA
SEJAK DULU MASA YANG LAMA

ISTERIKU…
KETAHUILAH BETAPA DIRIKU
MENYAYANGIMU SELALU
INGIN MENDAMPINGIMU SELALU
ENGKAULAH TEMANKU
DALAM PERJUANGAN YANG PENUH BERLIKU
ENGKAULAH PERMATAKU
ANTARA BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN TAAT KEPADA SUAMI

Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?

Seorang wanita apabila telah menikah, maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”

Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”

Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:

لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5

Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6

Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7

Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya 8 .”


Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”

Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”11

Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/isti karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12

Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar kecuali dengan izin suaminya, dan ia tidak boleh keluar walaupun ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam. Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim maka tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu' (cerai) kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan 13 , dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya.


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa 15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16

Dalam hadits yang lain:

الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18


--------------------------------------------------------------------------------
Catatan kaki:

1. HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i.

Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ
Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)

2. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3. HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha'if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.

4. HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”

5. HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.

6. HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.

7. HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.

8. HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.

9. Kinayah dari jima'. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)

10. HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.

11. HR. Al-Bukhari no. 5193.

12. HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.

13. Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.

14. Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.

15. Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li'an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali'at)

16. HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.

17. Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)

18. HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
Anak Permata Kurniaan Illahi

Dalam suatu hadis, ada diriwayatkan supaya mengahwini wanita-wanita yang subur supaya berupaya melahirkan zuriat yang baik-baik.

Ini adalah sebagaimana hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kahwini-lah wanita-wanita yang penyayang dan subur kerana sesungguhnya pada hari kiamat kelak aku berbangga dengan umatku yang paling ramai bilangannya berbanding nabi-nabi yang lain.” (Hadis Riwayat Ahmad di dalam Musnadnya, jil. 3, m/s. 158 & 245)

Dalam hal ini, antara hikmah yang dapat kita semua perhatikan adalah kelak anak-anak tersebut mampu membantu mendoakan kebaikan buat kita dan juga (dengan izin-Nya) membantu kita di masa-masa hadapan.

Ini dapat dilihat dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila seseorang manusia itu mati, terputuslah daripadanya segala amalan melainkan tiga perkara: 1 – Sedekah Jariah, 2 – Ilmu yang bermanfaat, dan 3 – Anak soleh yang mendoakannya.” (Hadis Riwayat Muslim, Kitab Wasiat, Hadis no. 14. Dan Abu Daud, Kitab Wasiat, no. 3880)

Oleh itu, selain memiliki zuriat yang ramai, ayah dan ibu juga perlulah berusaha untuk mendidik dan menjaga anak-anak tersebut dengan usaha yang keras, tanggungjawab, dan didikan yang sebaik-baiknya.

Dalam suatu hadis, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya (dikuasainya), adakah dia menjaga atau menyia-nyiakannya. Sehinggakan seseorang akan ditanyakan mengenai rumah tangganya.” (Hadis Riwayat Ibnu Hibban dalam Sahihnya. Lihat: Sislsilah al-Ahaadis ash-Shahihah, no. 1626)

Oleh itu, serba sedikit, tulisan ringkas ini ingin membawa untuk menyelami kehadiran anak-anak di dalam kehidupan adalah sebagai penyeri, tanggungjawab, kurniaan, dan mutiara berharga sebuah keluarga muslim.

Cahaya Mata Penyeri Kehidupan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang berkata (berdoa): “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”. Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) kerana kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya…” (al-Furqon, 25: 74-75)

Anak-anak yang dilahirkan adalah merupakan kurnia dari Allah dan merupakan suatu bentuk amanah bagi kedua ibu dan bapa untuk menjaganya dengan petunjuk yang digariskan. Kehadirannya menjadi penyeri sebuah kehidupan berkeluarga bagi mereka yang mengerti. Kegembiraan tersebut adalah merupakan sebuah fitrah kurniaan yang tidak terkira nilainya. Hal ini dikuatkan lagi apabila anak-anak adalah termasuk ke dalam salah satu bentuk perhiasan dan kesenangan dunia yang digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya, (maksudnya):

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, iaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga).” (Ali Imran, 3: 14)

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi sholeh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi, 18: 46)

Doa Sebagai Sarana Dikurniakan Anak Yang Sholeh

Doa adalah salah satu sarana yang agung yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman sebagai suatu bentuk penghubung dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melalui doa, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi peluang kepada kita untuk memohon sesuatu yang diperlukan dan diingini. Malalui doa jugalah Allah akan membantu kita dengan mengabulkan (memperkenankan) apa yang diingini oleh hati-hati kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahawasanya Aku adalah dekat. Aku memperkenankan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah, 2: 186)

Melalui al-Qur’an sendiri, terdapat banyak kisah-kisah dan doa-doa yang boleh menjadi contoh kepada para keluarga, pasangan suami isteri, dan mereka yang berkaitan, tentang kehebatan doa agar dikurniakan cahaya mata serta meraih kurniaan anak yang sholeh.

Sebagai contoh, di sini diutarakan dua kisah dan doa yang berkaitan;

1 – Doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” .... “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Ibrahim, 14: 35 & 39)

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.” (al-Baqarah, 2: 126-128)

2 – Doa Nabi Zakaria ‘alahis salam;

“Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, ketika ia sedang berdiri melakukan sholat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang sholeh”.” (Ali Imran, 3: 38-39)

Isteri Nabi Zakariya adalah seorang yang mandul dan dia sendiri adalah seorang yang sangat tua, namun dengan kuasa dan izin dari Allah, doanya telah diperkenankan. Menurut Sheikh Abdur Rahman as-Sa’di, “Kedua hal itu (tua dan mandul) merupakan penghalang, namun Allah berfirman (maksudnya) “Demikianlah, Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya”. Bahawasanya sebagaimana telah berlaku hikmah-Nya dengan berjalannya segala sesuatu itu menurut sebab-sebabnya yang wajar, maka Allah juga berkuasa merubah hukum alam tersebut menurut kekuasaan dan apa yang dikehendaki-Nya.” (Tafsir as-Sa’di (Judul Asli: Taisir al-Karim al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan), jil. 1, m/s. 490)

Tanggungjawab Melahirkan Anak

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya),

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapa-nya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya (meleraikan dari susuan) adalah tiga puluh bulan...” (al-Ahqaaf, 46: 15)

Seorang ibu, memiliki tanggungjawab yang besar bagi menjaga dan sekaligus melahirkan anak yang dikandungnya dengan selamat walaupun dengan susah payah.

Di dalam suatu hadis, disebutkan tentang kisah (dari hadis Imran bin Hushain) seorang wanita yang telah berzina sehinggalah dia hamil. Lalu dia merasa bersalah dan berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menjatuhkan hukuman kepadanya atas kesalahannya berzina. Tetapi Nabi berpesan kepada walinya supaya membawa dia pulang dan mengawasinya dengan baik sehinggalah dia telah melahirkan anaknya.

“Bahawasanya ada seorang wanita dari Juhainah mendatangi Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam, yang pada ketika itu dia dalam keadaan hamil kerana hasil perbuatan zina. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan perbuatan yang mengharuskan hukum hadd. Kerana itu, laksanakanlah hukuman itu ke atas-ku”. Kemudian Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memanggil walinya lalu bersabda, “Perlakukanlah/jagalah dia dengan baik. Jika dia telah melahirkan, bawalah dia menghadapku”. Maka walinya pun melaksanakan apa yang diperintah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam...” (Hadis Riwayat Muslim, Kitab al-Hudud, no. 4207)

Daripada kisah ini dapat dilihat betapa besarnya peranan ibu untuk menjaga, dan melahirkan anak yang dikandungnya dengan keadaan yang selamat.

Ibu Bapa Yang Sholeh Dan Kesannya

Peribadi yang baik dan sholeh adalah merupakan tauladan yang terbaik buat anak-anak yang berada di bawah jagaan mereka. Ini terlaksana antaranya apabila kedua orang tua mempunyai disiplin dan keperibadian yang bertaqwa kepada Allah dengan mengikuti panduan yang ditunjukkan oleh-Nya di samping sentiasa bekerjasama di antara ibu dan bapa bagi melaksanakan tugas dalam mendidik dengan baik.

Ini juga dapat dilihat melalui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang maksudnya):

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (sebagai) satu keturunan yang sebahagiannya (mewarisi) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ali Imran, 3: 34)

Sheikh Abdur Rahman as-Sa’di berkomentar, “Dan Allah menyebutkan keluarga-keluarga besar tersebut dan apa yang di dalamnya berupa manusia-manusia yang agung yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, dan bahawasanya keutamaan dan kebaikan itu telah diwariskan secara turun temurun oleh anak-cucu mereka, yang mencakupi lelaki dan wanita. Ini adalah merupakan kurniaan yang paling utama dan tempat kemurahan dan kebaikan-Nya yang paling utama. (Tafsir as-Sa’di (Judul Asli: Taisir al-Karim al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan), jil. 1, m/s. 487)

Kesan daripada Ibu bapa yang bertaqwa dan sholeh, para malaikat juga turut mendoakan buat mereka kebaikan dan memohonkan syurga buat anak-anak yang memiliki ibu bapa yang sholeh. Ini dapat dilihat dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut (maksudnya):

“Ya Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam Syurga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang sholeh di antara bapa-bapa mereka, dan isteri-isteri mereka serta keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Mukmin, 40: 8)

Malah, suatu anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, seandainya anak-anak cucu yang tersebut lahir dan hidup dalam keadaan yang penuh taqwa dan keimanan, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah juga turut menyatakan bahawa kelak nanti di Syurga, Allah akan mempertemukan mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (maksudnya): “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Setiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (ath-Thuur, 52: 21)

Anak-Anak Yang Sholeh Akan Mendoakan Ibu Bapanya

Memiliki anak yang sholeh adalah merupakan sebahagian kurniaan yang sangat bermakna bermula dari dunia sehinggalah meninggal dunia. Ini terlaksana melalui keperibadiannya yang sentiasa merendah diri menjaga akhlak kepada ibu bapa atau orang tua, sekaligus mendoakan kebaikan buat kedua ibu dan bapanya tidak kira semasa hayatnya mahu pun setelah meninggal dunia. Ini dilihat dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maksudnya,

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (al-Isra’, 17: 24-25)

“Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku petunjuk untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapa-ku dan untuk mengerjakan amal sholeh yang Engkau redhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang sholeh.” (an-Naml, 27: 19)

Juga melalui hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita dikhabarkan bahawa doa dan amalan anak-anak yang sholeh itu sentiasa memberi kesan yang baik kepada kedua orang tuanya walaupun orang tuanya telah meninggal dunia.

“Apabila seseorang manusia itu mati, terputuslah daripadanya segala amalan melainkan tiga perkara: 1 – Sedekah Jariah, 2 – Ilmu yang bermanfaat, dan 3 – Anak sholeh yang mendoakannya.” (Hadis Riwayat Muslim, Kitab Wasiat, Hadis no. 14. Dan Abu Daud, Kitab Wasiat, no. 3880)

"Serulah ke jalan Tuhanmu (wahai Muhammad) dengan hikmah kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik, dan berbahaslah dengan mereka (yang engkau serukan itu) dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu Dialah jua yang lebih mengetahui jalan orang yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah jua yang lebih mengetahui akan orang yang mendapat hidayah petunjuk."
(Surah an-Nahl: ayat 125

Majlis akad nikah adymfi - Batal Air Sembahyang

Sayang mama...

Majlis Akad Nikah Adymfi - Lafaz Takliq

Lafaz Takliq diperdengarkan.....

10/13/2009

Majlis Akad Nikah adymfi 2006

Alhamdulillah.. lega rasanya dah lepas upacara akad nikah..